RUANG berukuran 6 x 10 meter itu terlihat menarik dengan berbagai peralatan logam. Ada penggiling, wajan besar, alat penepung, serta pengemas produk. Di bawah alat penggiling, terlihat tumpukan batang tebu yang telah mengering. Pipih dan terkoyak. ’’Ini ampas tebu yang digiling melalui mesin ini,’’ jelas Teguh Soedarto sambil mengenalkan mesin penggiling berwarna biru muda tersebut. Alat itu diletakkannya di Graha Riset Teknologi Tepat Guna (TTG) Techno Park Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur.
Setelah tebu tergiling, air perasan tebu langsung tertampung di alat penyaring. Selanjutnya, cairan manis itu dimasukkan ke wajan dan dimasak hingga matang. Air tebu yang telah mendidih lantas didinginkan di sebuah wadah pendingin putar. Bahannya adalah kayu pohon nangka. Cairan tebu yang telah dingin lalu dikeringkan dan diayak halus. Gula berwarna cokelat tersebut dikemas dan siap dipasarkan.
Teguh Soedarto Kembangkan Teknologi dan Manajemen Pertanian; Grafis: Aktivitas Teguh Soedarto (Frizal/Erie Dini/Jawa Pos/JawaPos.com)
Ya, seluruh alat di ruangan itu memang khusus dirancang untuk membuat gula cokelat dari perasan air tebu. Di ruangan yang tak terlalu besar tersebut, orang sudah bisa membuat produk gula sendiri. ’’Semua alat ini dibuat UPN sendiri,’’ kata Teguh menjelaskan alat yang dibuatnya bersama Edi Mulyadi, salah seorang dosen Teknik Kimia UPN, itu.
Tujuan pembuatan satu set alat produksi gula cokelat tersebut bermula dari keprihatinan Teguh melihat nasib petani tebu. Rendemen (kadar gula) yang rendah di dalam tebu membuat pabrik gula melakukan pembelian dengan harga rendah.
Kondisi tersebut membuat pria kelahiran 20 Juni 1956 itu berpikir keras. Memanfaatkan murahnya harga tebu yang memiliki rendemen rendah, Teguh membuat gebrakan. Dia mengajak petani memproduksi gula sendiri. Caranya, membuat pabrik berskala rumahan.
Meski berskala industri kecil, kapasitas satu set alat pembuat gula cokelat tersebut cukup efisien. Alat penggiling, misalnya. Dalam satu jam, alat itu mampu menggiling 1 ton tebu. Sementara itu, hasil gula cokelat bisa mencapai 9 kg per 1 kuintal tebu.
Gula cokelat dipilih lantaran cara pembuatannya tidak terlalu rumit. Dia memastikan setiap petani bisa membuat gula cokelat tersebut. Mengonsumsi gula cokelat juga dinilai lebih sehat daripada gula putih buatan pabrik. Sebab, gula cokelat tak memerlukan bahan kimia untuk pemutihan. ’’Lebih sehat karena tanpa pengawet,’’ ungkap rektor UPN itu.
Gula cokelat juga memiliki keunggulan rasa. Tak seperti gula putih yang terasa manis, gula cokelat dengan model produksi tersebut masih menyimpan aroma khas tanaman tebu. Dengan begitu, ketika minum kopi dengan menggunakan gula itu, paduan aroma antara kopi dan tebu langsung terasa.
Produksi gula cokelat secara mandiri dapat memberikan banyak keuntungan. Ampas tebu sisa penggilingan yang telah kering bisa langsung digunakan sebagai bahan bakar. ’’Jadi, ndak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk bahan bakar,’’ ucap pria yang dikukuhkan sebagai guru besar pada 2009 tersebut.
Diproduksi pada 2014, alat produksi buatan UPN itu kini digunakan dua kelompok petani di wilayah Bondowoso. Mereka sangat terbantu dengan alat tersebut lantaran bisa meningkatkan penghasilan.
Dengan alat itu, petani biasanya membagi hasil panen tebu menjadi dua. Tebu dengan rendemen tinggi dijual ke pabrik pengolahan tebu, sedangkan tebu rendemen rendah akan langsung diolah menjadi gula cokelat.
Teguh berharap petani yang bisa mengolah produk pertanian secara mandiri semakin banyak, lantas menghasilkan keuntungan lebih besar. Kehadiran alat produksi mandiri akan membuat roda perekonomian petani terus hidup. ’’Pada waktu senggang setelah panen, petani bisa memproduksi hasilnya,’’ ujarnya. (elo/c23/nda/sep/JPG)
Baca Kelanjutan Teguh Soedarto Kembangkan Teknologi dan Manajemen Pertanian - Jawa Pos (Siaran Pers) (Blog) : http://ift.tt/2nNxwNp
Comments
Post a Comment